Pernah dengar soal cooking is a therapy?
Ketika berdiri di depan meja dapur, mengupas bawang satu per satu dan mengirisnya. Tidak ada musik, tidak ada suara dari televisi atau ponsel. Hanya suara halus pisau yang menyentuh talenan, aroma tajam dari kulit bawang yang terlepas, dan udara dapur yang perlahan menghangat. Tahu-tahu, saya sudah berada di sana selama hampir setengah jam dalam diam, fokus, dan tenang.
Banyak orang mengira meditasi hanya bisa dilakukan dengan duduk bersila, mata terpejam, dan napas diatur dalam hitungan tertentu. Tapi kenyataannya, praktik kesadaran atau mindfulness tidak harus selalu hadir dalam bentuk yang begitu formal. Dapur, dengan segala rutinitas kecilnya, bisa menjadi ruang meditasi yang sederhana dan tak terduga.
Iiihh, boro-boro meditasi.. yang ada stres nggak siih kelamaan di dapur, gerah dan pengen cepet kelar?
Iya sih, Bu, i feel you too. Tapi ternyata masak sambil marah-marah gedubrakan itu melelahkaaaann…. semua serba salah dan entah kenapa jadinya malah terasa nggak selesai-selesai.
Jadi, mending kita nikmati aja keberadaan kita di dapur itu. 15 menit, 30 menit aja cukup deh untuk lebih fokus dan tenang sebelum berlanjut ke pekerjaan lainnya. Istilah yang sering saya dengar, “one bite at a time”.
Masak….
Kegiatan memasak, pada dasarnya, adalah serangkaian tindakan berulang yang membutuhkan perhatian penuh. Memotong sayur, mencuci beras, menakar bumbu, semuanya menuntut kehadiran pikiran dan tubuh secara utuh. Ketika kita benar-benar hadir dalam proses itu, saat itulah masak berubah dari sekadar kewajiban menjadi pengalaman yang menenangkan. Bukan hanya soal menghasilkan makanan, tapi tentang menikmati tiap detik yang membentuknya.
Psikolog klinis asal Australia, Dr. Sandi Mann, meneliti hubungan antara aktivitas kreatif dan kesejahteraan emosional. Dalam studinya yang dipublikasikan di The Journal of Positive Psychology, Mann menemukan bahwa aktivitas seperti memasak, melukis, atau menulis dapat meningkatkan suasana hati, memperkuat rasa pencapaian, dan memperbaiki kondisi psikologis secara keseluruhan. Ia menyebut kegiatan semacam ini sebagai bentuk constructive distraction: pengalihan yang bukan sekadar mengalihkan, tapi membangun.
Sementara itu, Dr. Nicole Farmer, peneliti dari National Institutes of Health (NIH), juga telah mengkaji dampak kegiatan memasak terhadap kesehatan mental. Dalam wawancaranya dengan Harvard Health Publishing, ia menjelaskan bahwa memasak dapat meningkatkan self-efficacy, yaitu keyakinan bahwa kita mampu mengendalikan dan menyelesaikan tugas tertentu yang pada akhirnya memperkuat daya lenting mental (resiliensi).
Dalam banyak tradisi budaya, kegiatan memasak memang tidak pernah sekadar teknis. Ia menyimpan nilai spiritual, emosional, bahkan terapeutik. Di Jepang, misalnya, ada filosofi ichi-go ichi-e—setiap pertemuan adalah unik dan tidak akan terulang. Prinsip ini bisa diterapkan dalam memasak: setiap kali kita meracik sesuatu, kita berhadapan dengan bahan, suasana hati, dan cuaca yang berbeda. Tak akan pernah sama persis, dan karena itu patut dinikmati.
Menariknya, semakin dunia modern menawarkan kecepatan dan efisiensi, dapur justru menjadi ruang untuk memperlambat. Kita hidup di tengah notifikasi, tenggat waktu, dan arus informasi yang nyaris tanpa jeda. Maka, aktivitas yang memungkinkan kita berhenti sejenak (seperti menguleni adonan atau mengamati panci mendidih) menjadi semacam perlindungan kecil dari kebisingan dunia luar.
In a Rush…
Tentu tidak semua momen memasak akan terasa seperti meditasi. Ada kalanya kita terburu-buru, dapur berantakan, atau makanan tak sesuai ekspektasi. Tapi justru dalam kekacauan itu, kita diajak untuk berdamai. Bahwa tidak semua hal harus sempurna, bahwa proses lebih penting dari hasil, dan bahwa dapur bisa menjadi tempat kita belajar menerima baik rasa asin yang kebablasan, maupun pikiran-pikiran yang sedang tidak tenang.
Pada akhirnya, dapur adalah ruang yang jujur. Ia tidak menuntut performa, hanya kehadiran. Dan di zaman yang serba sibuk, healing bisa berbentuk apa saja. Bisa bolak balik tidur di kamar, bisa nonton seharian, bisa liburan menikmati terbangnya balon-balon udara di Wonosobo, tapi bisa jadi, media healing kita nggak jauh-jauh dari rumah dan itulah bentuk meditasi yang paling kita butuhkan.
Terapi dari dapur tentu tidak untuk menjadi tenang selamanya, tapi cukup untuk kembali mengingat bahwa kita masih di sini, hidup, meracik untuk makan, dan bernapas di antara wangi bawang dan uap nasi yang mengepul.
Tulisan ini mungkin pure penuangan pikiran aja….yang secara nggak sadar, muncul saat ngaduk-ngaduk sayur di dapur kemarin sore.
I’m a home cook and love to read about food, but I’m not trained as a chef. I’m just really into cooking and passionate about it. — Ted Allen
