seblak asli
Asian Food Catatan Dapur Jajanan Pasar

Seblak Asli Sunda itu Harusnya Polos dan Tidak Meriah

Sebagai wargi Sunda asli, saya amat familiar dengan kuliner seblak yang sekarang ini makin populer dan meluas ke luar wilayah Jawa Barat. Begitu rantau ke daerah lain dan menemukan panganan seblak yang tampilannya sangat berbeda dengan yang saya kenal, zuzur gelisah banget ini sampai nggak bisa tidur, “kok gini sih, mereka belajar dari mana ya kayak gini?”.

Lama-lama jadi insecure sendiri. Saya yang tidak mengikuti zaman atau orang-orang itu memang nggak tahu sebenarnya seblak yang asli itu kayak apa? Tahunya ya yang berkuah ngembeng dengan aneka topping dan sayuran. Betapa saya ingin menggugat warung-warung yang jual makanan yang ngaku-ngaku seblak itu, tapi siapa saya, beli juga enggak.

Salah satu tempat seblak legend sekitar tahun 2010an di Bandung ada di depan Griya Buah Batu (sekarang tidak tahu, mungkin sudah tutup atau pindah). Begitu turun dari angkot di depan gerobaknya, aroma mecin dan telur yang sedang dioseng terlalu mengundang untuk mendekat. Harganya saya lupa, tapi bahan-bahannya sederhana aja: bumbu kencur, kerupuk, dan telur. Meskipun begitu, ini enak banget, nagih.

foto dari Foursquare seseorang tahun 2013

Di Jawa Barat, selain seblak basah, ada juga seblak kering yang dijual bungkusan di kantin-kantin atau warung sekitar rumah. Seblak ini yaitu kerupuk aci kecil-kecil yang dibumbui cabe kering pedas. Enak banget buat nyamil-nyamil sambil ngelamun atau ngegosip ramai-ramai bersama teman saat muda, heleh.

kerupuk seblak kering (paxelmarket)

Untuk diketahui saja, kata “seblak” sendiri berasal dari bahasa Sunda yang berarti “nyeblak” atau “mengagetkan”, sepertinya merujuk pada sensasi pedas terasa saat menyantapnya. Belum nyeblak kalau belum pedas, gitu.

Sejarah Seblak di Parahyangan

Sebetulnya kurang jelas juga asal usul seblak jadi panganan masyarakat Sunda yang sering dibilang kurang gizi ini. Konon, saat zaman kemerdekaan, stok produksi kerupuk di Jawa Barat melimpah. Hal ini karena singkong–yang menghasilkan aci, bahan utama kerupuk, merupakan komoditas pangan utama di Pulau Jawa . Lalu industri kerupuk pun tumbuh subur di wilayah ini, tercatat industri kerupuk pertama ada di Tasikmalaya, tahun 1930an.

Lalu karena ketersediaan kerupuk mentah begitu banyak, ada kerupuk-kerupuk lama yang menumpuk atau gagal sortir karena bentuk kurang bagus atau stoknya kelamaan. Sedangkan kalau digoreng sudah keburu keras dan susah dikunyah, akhirnya daripada dibuang, dibuatlah kreasi masakan dari kerupuk-kerupuk mentah ini.

Entah ide dari mana merebus kerupuk lalu dicampur dengan bumbu-bumbu yang dominan rasa kencur dan pedas ini kemudian populer. Kemungkinan sih untuk menghilangkan bau langu kerupuk lama ya, jadi aroma kuat kencur dan pedasnya cabe bisa menutup kekurangan bahan yang hanya kerupuk itu. Jadilah seblak kurupuk, alias kerupuk lembek yang berbumbu. Nyemek karena dia agak basah, tapi jelas tidak berkuah.

Ada gizinya? Yaa enggak ada sih. Tapi bagi kalangan rakyat jelata, ini adalah inovasi camilan yang murah meriah dan menyenangkan. Buktinya sekarang pada suka, kaann?

Bahan Utama Seblak

Originally, bahan-bahan membuat seblak itu benar-benar sederhana menyesuaikan kalangan ekonomi para kreatornya dulu. Yaitu kerupuk yang direbus/direndam sampai lemas, bumbu halusnya hanya cabe rawit, bawang putih, cikur (kencur), cabe merah keriting, garam, dan gula. Semua bahannya pasti ada di dapur-dapur rumah pada umumnya.

Cara masaknya hanya mengoseng bumbu halus lalu dicampur aduk dengan kerupuk yang sudah lemas. Selesai.

Jenis kerupuk yang dipakai untuk seblak umumnya yang berwarna oren kecil-kecil. Ditengarai, kerupuk oren ini rasanya lebih gurih dan lebih mudah menyerap air. Sementara untuk seblak kering, biasanya pakai kerupuk yang ada pinggiran warna-warni. Sedangkan seblak Mamang Rafael yang kemarin sempat viral, itu pakai kerupuk putih mawar alias kurupuk blek.

kerupuk seblak oren (tokopedia)

Untuk menambah gizi dari menu yang merakyat ini, maka ditambahkan telur orak arik yang dimasak dari awal. Pas deh rasanya, gurih, pedas, selera rakyat Sunda pisan. Makannya juga jadi nggak guilty guilty amat, kan ada vitamin A dan D di dalam telur.

Pelengkap Seblak yang Ter-Toleransi

Suka tidak suka, saya harus subjektif di bagian ini karena jujur saja gelisah melihat seblak sekarang pakai kuah banyak, dengan isian mie (dulu yang dipakai mie golosor, sekarang mie apa aja kayaknya), makaroni, sosis dan baso-basoan seafood. Indomie seblak hot jeletot aja nggak, siihh…

Bahkan sering nemu seblak dengan sayuran lengkap seperti sawi putih, sawi hijau, wortel, dan jamur enoki… duh udah kayak capcay kuah aja. Nggak jarang kerupuknya juga nggak ada. Atau yang lebih keterlaluan lagi bagi saya, nggak ada rasa kencurnya! Padahal, kencur bagi seblak adalah koentji.

Di lidah saya, hanya ada satu bahan yang match dengan taste seblak ori, yaitu ceker dan/atau tulang rangu. Nggak ada yang merusak rasa, yang ada saling melengkapi rasa dan nutrisi. Selain dari pada itu, saya no way.

seblak yang terkenal di belakang rumah mama di Bandung

Seblak Kekinian, Inovasi Gagal atau Meroket?

Kalau lihat fenomena sekarang orang jadi banyak kenal seblak di mana-mana (terlepas dari pro-kontranya), ya bisa dibilang berhasil inovasinya meski jauh dari pakem seblak originalnya sendiri. Ketenaran seblak meroket sampai internet.

Saya juga nggak bisa menyalahkan, hanya nggak bisa menelan. Pasar seblak ini banyak dan ramai, jadi orang cenderung terima-terima aja seblak dalam bentuk apa pun apalagi kalau nggak paham aslinya gimana.

Waktu saya ajak makan original seblak yang asli ke teman-teman di Malang sini yang tanpa kuah dan aneka topping ala capcay, mereka ngerasa aneh karena seblak pertama yang mereka tahu yaa yang rame-rame sayuran itu *sediiihhhh.

Well, intinya saya cuma curhat sih… galau memikirkan betapa seblak sudah keluar dari root-nya di tanah Sunda. Daripada terus-terusan terganggu, saya akhirnya masak seblak sendiri di rumah, menghabiskan 5 kilo kerupuk oren yang dikirim dari kampung halaman. Mungkin ini juga yang dirasakan oleh native consumer pempek di tanah Jawa, wooii…napa makan cukonya disendokin wooii..

*Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *



Share this…