belajar food photography
Bisnis Kuliner

Apa yang Harus Dipelajari dalam Food Photography?

Seberapa sering kita tertarik buat beli makanan atau datang ke tempat kuliner karena lihat foto-fotonya di sosial media? Kalau saya, zuzur aja, sering. Penasaran sama semangkuk penuh bakso yang sambalnya pedas turah-turah, seksinya warna teh dalam cangkir bening, atau mulurnya keju mozarella yang ditarik dari bulatan triple cheese pizza. Fotonya aja bikin ngiler, gimana rasanya makan langsung… kira-kira begitulah suara batin saya.

Lalu seberapa sering juga kita baca buku menu, tapi nggak ada bayangan visual makanannya seperti apa? Isinya teks semua, tanpa ada gambar makanannya sama sekali. Pilihannya antara bolak balik tanya waiter (yang kadang si waiter juga sulit untuk menjelaskan), atau berimajinasi sebisanya aja. Kalau rajin ya nge-googling, tapi kan lama ya…

Kalau sekadar mie ayam pangsit kuah, martabak keju silverqueen, gitu-gitu nggak sulit dibayangkan. Kalau sudah namanya choux au craqueline, ayam saus worchestershire, atau sayur babanci, kadang orang susah juga mengenali tanpa ada visualisasinya. Minimal jadi tahu, oohh sayur babanci tuh isinya ada potongan kelapanya, oh ayam saus wasweswos tuh mirip ayam kecap, dan sebagainya.

Membuat proses memesan makanan lebih mindful. Karena kita tahu apa yang kita pesan meskipun belum pernah mencobanya.

Pentingnya Food Photography untuk Bisnis Kuliner

Sosial media memang mengubah segalanya. Nggak dipungkiri, visualisasi adalah salah satu kunci untuk bersaing dengan jutaan pelaku usaha sejenis. Belakangan, food photography jadi subjek yang gemar dipelajari nggak cuma buat para pencerita kuliner, tapi juga para pelaku kuliner itu sendiri.

Buat saya yang senang menulis kuliner kayak di blog ini, foto-foto yang rapi dan bagus pasti jadi nilai plus tulisannya. Begitu juga dengan para bakulan yang buka branding lewat sosial media, pasti butuh display foto produk untuk jadi etalase postingannya.

Pada webinar food photography “Jualan Laris dengan Foto Produk Kuliner yang Manis” bersama Riana Ambarsari — food photographer favorit andalan NCC, saya menyimak bahwa foto-foto produk bisa dibilang adalah aset yang sangat menjual, hampir seperti produk makanannya itu sendiri.

food photography

Foto kita, tidak hanya berhenti di postingan kita sendiri. Tapi bisa beredar kemana-mana dan jadi alat promosi secara tidak langsung. Foto kita akan jadi katalog yang bisa dilihat siapa saja. Foto kita akan jadi bukti karya kita selama di dapur.

Dan ternyata, fotografi makanan ini punya dasar-dasar ilmu yang unik dibanding fotografi pada umumnya.

Tidak Usah Kamera Canggih, Pakai saja Smartphone

Mari bicara dari pov pelaku usaha ya. Tentu saja kita bisa sewa fotografer profesional untuk memfoto produk-produk kita untuk membuat display katalog. Tapi, kembali lagi bahwa food photography bisa dipelajari siapa saja, termasuk para bakulan kaya kita-kita gini.

Hape ibu-ibu sekarang kan canggih-canggih yah. Nah, maksimalkan fungsi smartphonenya, selain untuk branding juga untuk belajar motret. Minimal motret jualan sendiri.

Kenali fungsi-fungsi yang ada di pengaturan kamera. Jangan cuma cekrek-cekrek doang lagi, saatnya upgrade dengan mengatur komposisi, mulai properti dan pencahayaan.

Mengenali fungsi kamera sendiri:

  • ada mode apa aja?
  • fungsi apa aja di tiap mode?
  • ada pengaturan apa saja di setting?

Resolusi Gambar

Pilih picture quality yang high. Lalu ambil ukuran standar 4:3 untuk ukuran upload Instagram dan kebutuhan lain. Kecuali jika untuk Youtube, bisa pilih 16:9 dengan posisi landscape. Jadi, tentukan dulu tujuan fotonya nanti buat apa.

Mode-mode pemotretan

Ada tiga mode pemotretan; photo, potret, dan manual. Mode-mode ini jangan cuma diliatin tapi dicoba-coba. Jangan sampai ada fungsi pada kamera yang tidak kita ketahui gunanya karena tidak pernah kita coba.

Mode photo biasa akan menampilkan objek seperti apa adanya. Sedangkan mode potrait membuat efek fake blur untuk yang bukan objek fotonya.

Pasang Grid lines

Fungsi grid lines ini untuk menempatkan posisi dan komposisi foto. Jadi pastikan nyalakan settingan memakai garis-garis ini ya. Nggak ganggu kok.

Segitiga Exposure

Ini mulai masuk ke area mumet-mumet. Buat yang lagi megang hape, cek deh, di mode pro atau settingan. Pasti ada huruf-huruf ini di layar bagian bawah.

Exposure terdiri dari aperture (f atau A), shutter speed (s atau T), dan ISO. Setiap elemen ini membawa konsekuensi pada hasil gambar.

Fungsi aperture untuk menyesuaikan cahaya. Kalau lubang membesar, cahaya masuk banyak gambar jadi terang dan sebaliknya. Aperture membawa dampak pada gambar belakang, makin kecil angkanya makin blur belakangnya.

Shutter (tombol rana), kecepatan ngejepret. Shutter speed tinggi lebih stabil, shutter speed rendah jadi ngeblur. Kilauan cokelat, lelehan fla, harus cepet-cepet pinter ditangkap sama kamera.

Sedangkan sensor (ISO), kepekaan sensor menangkap cahaya. makin tinggi ISO makin bisa motret di dalam gelap. ISO rendah makin tidak peka terhadap cahaya.

Kalau kita biasa motret pemandangan pakai lensa wide, memang lebih keliatan semuanya tapi kalau motret makanan jadi pada lebar lebar. yang depan jadi lebih besar daripada yang belakang (kalau kuenya disusun jadi aneh)

Dalam foodphoto kita harus bebas berpikir jangan terpaku sama satu pakem. Settingan motret harus udah ready.

White balance

White balance ini jadi penting ketika kita ingin memunculkan akurasi warna dari makanan tersebut. Jangan sampai customer terkecoh dengan warna di foto dan warna aslinya. Kadang, yang pink terlihat jadi oren atau creme di layar foto. Ini tentunya tergantung penerimaan dan cahaya hp masing-masing penerima.

Lighting

Sumber Cahaya

Natural
– Pagi max 09.00 – lembut putih rata, bayangan halus
– Siang – keras dan intens, bayangan pendek dan memiliki garis bayangan tegas. pengaruhnya bayangannya gelap.
– Sore di bawah jam 3 – intensitas berkurang tapi tidak selembut pagi, warnanya kuning dan bayangan panjang

Artificial
Dari lampu, godox atau lampu meja

Arah Cahaya

Dari samping -> menghasilkan tekstur, seperti 3D
Dari belakang -> menghasilkan highlight dan siluet, liaht di makanan berkuah ada kilau kilau
Dari depan -> flat, tekstur tidak 3D

Komposisi

Untuk menentukan posisi makanan dan propertinya, dikenal istilah rule of third (objek foto terletak di antara tiga garis/grid), dan diagonal (berjejer miring). Fungsi komposisi ini agar tidak ada ruang kosong atau berat sebelah.

Angle

Tau kan ya angle alias sisi pengambilan.
– rendah 0-30o (objek terkesan tinggi, background banyak terlihat, distorsi minimal)
– normal (makanan tampak persis terlihat mata dalam posisi normal, distorsi banyak)
– flatlay 60-90o (praktis untuk hp, distorsi minim)

Styling

Sebaiknya kita selalu punya rencana, fotonya mau seperti apa (style, properti, warna, angle, komposisi).

Branding dengan foto merupakan strategi pemasaran visual. Suara visual foto lebih keras ketimbang narasi kita di caption. Jadi, setidaknya kita perlu dua jenis foto:

  1. Product shot (foto katalog). Clean, minimal, produk terlihat jelas
  2. Promotional shot (foto untuk sosmed, flyer, banner, kalender)

Tips lain adalah, miliki lickable factor, sesuatu yang bikin orang ngiler pas lihat fotonya. Misal brownies, kasih pelengkapnya misal sama kopi, sama eskrim.

Jangan foto produk frozen atau siap masak yang masih di dalam plastiknya, nanti nggak akan tahu gimana penampakan pas dimasaknya. Do the selling, biar foto yang cerita gimana lezatnya dia dimakan bukan dikemas.

Contoh lain adalah Indomie yang toppingnya lengkap di kemasan depannya, itu adalah selling photo, bukan foto produk.

Kesalahan Umum dalam Food Photography

  • jarak terlalu dekat
  • mengandalkan cahaya lampu ruangan
  • bayangan jatuh ke objek foto
  • background tegak masuk ke dalam foto flatlay
  • cahaya bocor dari depan

Terakhir

When the lighting is good, you don’t need anything else

Riana Ambarsari

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *



Share this…